Kamis, September 06, 2007

Korban Ledakan Tabung BBG Menggugat: Busway dan Bajaj Gunakan Tabung Produk Gagal Yang Mudah Meledak?!

Oleh:
Arko Kanadianto, S.H.

Dunia transportasi Indonesia saat ini digemparkan oleh gugatan yang dilayangkan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Gugatan tersebut dilayangkan oleh seorang bernama Steve Sugita salah satu korban Ledakan Tabung Bahan Bakar Gas (BBG) yang berhasil selamat dari peristiwa yang hampir merenggut nyawanya. Dalam gugatan tersebut, Steve mendalilkan bahwa tabung BBG yang diimpor masuk ke Indonesia merupakan produk gagal sehingga mudah meledak, hal ini menurut steve dibuktikan dengan tidak adanya sertifikat Result of Prototype Testing yang semestinya harus ada pada setiap Tabung BBG. Menurut Steve peristiwa ledakan yang menimpanya hanyalah satu dari rangkaian periswtiwa ledakan Tabung BBG dan sudah banyak korban berjatuhan selain dirinya. Bagaimana peristiwa ini bisa terjadi? Benarkan apa yang didalilkan oleh Steve tersebut? Siapa sajakah pihak yang harus bertanggung jawab?

Lolos Dari Maut
Tidak pernah terbayang dalam benak benak steve bahwa dia akan mengalami peristiwa yang memanggang tubuhnya di dalam mobil pribadinya. Peristiwa dimulai ketika Steve mengetahui program Langit Biru dari pemerintah yang menyerukan pemakaian BBG sebagai sumber energi alternatif bagi kendaraan. Selain ekonomis, penggunaan BBG ini disebut-sebut sangat ramah bagi lingkungan sehingga dapat mengurangi polusi udara. Maka Steve pun memasang instalasi BBG di mobil Kijang pribadinya di dealer resmi PT Gas Biru salah satu perusahan yang mengimpor dan menjual Tabung BBG di Indonesia.

Disinilah kemudian bencana itu dimulai. Pada 5 Februari 1999, Steve yang saat itu sedang berkendara, secara tiba-tiba dikejutkan oleh ledakan yang sangat keras dari bagian belakang mobilnya. “Awalnya saya kira ban pecah. Tapi tidak lama kemudian api sudah membakar seluruh mobil. Saya terjebak di dalamnya dan berusaha untuk keluar dari mobil,” cerita Steve. Akibat ledakan dan api yang melalap mobilnya, Steve mengalami luka bakar stadium III. “68 persen dari permukaan badan saya mengalami luka bakar yang amat serius. Sehingga mengakibatkan cacat permanen pada diri saya,” paparnya.

Steve menuturkan bahwa selama mengalami koma di Rumah Sakit, dirinya merasa mendengar suara dari seseorang yang memintanya agar tetap hidup, karena hanya Steve yang dapat membongkar penyebab dibalik peristiwa yang menimpanya tersebut. Pasca kejadian tersebut rupanya muncul semangat dari steve untuk mencari tahu penyebab ledakan tabung BBG yang menimpanya. Ia menjelaskan bahwa beberapa hari pasca musibah, anaknya mendatangi PT Gas Biru untuk menanyakan penyebab ledakan. ”Namun PT Gas Biru malah menjawab ledakan diakibatkan karena tabung pernah di las. Padahal saya tidak pernah mengelasnya,” tandasnya. “Jawaban Gas Biru selanjutnya sungguh sangat mengecewakan saya, dimana anak saya diancam untuk tidak mengekspos kasus ini,” tambah Steve.

Upaya Hukum
Steve kemudian meminta agar tabung yang meledak tersebut diuji ke Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Mabes Polri. ”Yang jelas, berdasarkan hasil pemeriksaan Puslabfor Polri, sepatutnya dapat diduga tabung yang dijual Pertamina dan Gas Biru adalah prosuk yang tidak lulus quality control dan tidak memiliki sertifikat quality assurance,” ungkap Steve. Bermodal hasil Puslabfor, Steve melaporkan kealpaan PT Gas Biru kepada Polda Metro Jaya pada 7 Februari 2001. Laporan Steve baru ditindaklanjuti pada 7 Desember 2001 dengan pemeriksaan terhadap Steve sebagai saksi korban.

Namun Steve merasa kerja Polda dalam menangani perkaranya setengah hati. Buktinya hingga 2 tahun, laporannya ’digantung’ tanpa kepastian. Akhirnya ia memohon praperadilan kepada PN Jakarta Selatan dan dikabulkan. Dalam putusannya, Hakim memerintahkan agar proses penyidikan dilanjutkan kembali. ”Tapi ternyata sampai sekarang, polisi juga tidak kunjung melanjutkan penyidikan,” papar Steve. Meski begitu, hingga kini perkaranya masih terkatung-katung tanpa kejelasan sikap dari pihak Polda Metro Jaya.

Akhirnya Steve pun mendatangi LBH Jakarta untuk mencari keadilan, kasus Steve ditangani oleh Arko Kanadianto dan Nurkholis Hidayat, Pengacara dari LBH Jakarta. Hasilnya pada awal Januari 2007 lalu, Steve melalui LBH Jakarta mengajukan gugatan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Steve menjelaskan gugatan itu ditujukan kepada PT Gas Biru sebagai Tergugat I, PT Pertamina sebagai Tergugat II. Sementara Dirjen Perhubungan Darat Dephub dan Menteri Perdagangan juga ikut digugat masing-masing sebagai Tergugat III dan IV. Sebagaimana terurai dalam gugatan, Steve menuntut para tergugat untuk membayar ganti rugi secara tanggung renteng sebesar Rp51,155 miliar. Dengan rincian gugatan materil sebesar Rp1,155 miliar dan Rp50 miliar untuk ganti rugi immateril. Tidak hanya itu, Steve juga menuntut agar tanah dan bangunan milik tergugat I dan tergugat III disita.

PT Gas Biru digugat karena dianggap telah mengimpor dan menjual tabung gas yang mutunya tidak sesuai dengan apa yang tertulis di brosur. Selain itu, ”Produk yang dijual tanpa dilengkapi sertifikat quality assurance sebagaimana dipersyaratkan. Ini jelas perbuatan melawan hukum,” tegas Steve. Sedangkan Pertamina digugat karena dianggap turut serta mendukung penjualan tabung gas CNG merek Faber dan berpura-pura tidak mengetahui kualitas buruk dari tabung tersebut. Sementara itu, Dirjen Perhubungan Darat dan Menteri Perdagangan digugat lantaran dianggap lalai melakukan pengawasan dan membiarkan terus berlangsungnya peredaran dan penjualan tabung gas tersebut. Padahal, Dirjen Perhubungan Darat telah mencabut izin Gas Biru untuk menjual.

Produk Gagal
Sebelum mengajukan gugatan Steve pun berusaha mencari bukti sekaligus ingin memuaskan rasa penasarannya dengan melakukan penelitian dengan pengunjungi beberapa negara yang memproduksi Tabung BBG serupa dengan Tabung miliknya yang meledak. Steve menuturkan proses pembuatan Tabung dimulai dengan membuat adonan seperti adonan donat untuk kemudian dicetak. Ketika dalam proses pencetakkan, adonan diberi unsur sulfur dengan kadar cukup tinggi agar adonan lentur dan mudah dibentuk. Selain itu diberi pula unsur molybdenum untuk menunjang kelenturan tabung mengingat Tabung BBG nantinya akan diisi tekanan hingga 200 bar.

Setelah proses pencetakkan, Tabung akan melalui proses pemanggangan dalam suatu ruanga khusus, dalam proses itu kadar sulfur dikurangi hingga tidak boleh melampaui 0,035% karena jika unsur sulfurnya tinggi, tabung akan mudah terkenan korosi sehingga mudah meledak. Setelah tabung jadi, akan dicek apakah kadar sulfurnya melampaui 0,035%. ”Tabung yang unsur sulfurnya kurang dari 0,035% dinyatakan aman untuk digunakan sebagai Tabung BBG, sedangkan tabung yang kadar sulfurnya melebihi batas adalah produk gagal sehingga tidak boleh digunakan sebagai tabung BBG, namun tabung gagal ini tetap boleh digunakan untuk keperluan lain misalnya untuk kompresor cat mobil.” Papar Steve.

Menurut Steve, tabung produk gagal inilah yang diimpor masuk ke Indonesia dan digunakan sebagai tabung BBG karena harganya jauh lebih murah. Pernyataan Steve ini didukung Hasil Uji Puslabfor melalui berita acara pemeriksaan nomor 422/BMF/2000 tgl 7 September 2000. Menurut Puslabfor, karat lubang tembus dinding dari dalam keluar (yang menyebabkan tabung meledak), adalah reaksi berkarat lubang akibat kandungan sulphur (S) ternyata 3x lebih banyak dari yang ditoleransikan (melampaui ambang batas maximal) yaitu sebesar 0,12 %. Dalam pemeriksaan Puslabfor juga dinyatakan bahwa pada analisa kimia material tabung yang meledak ternyata tidak memiliki kandungan unsur Molybdenum (Mo) dari yang seharusnya 0,035 %.

Prasyarat mutu
Selain itu Standard Internasional Tabung BBG menurut Steve mensyaratkan adanya sertifikat Quality Assurance ISO 9001 serta harus mencantumkan tanggal mulai dan tanggal berakhir masa pakai tabung. Steve memaparkan untuk mendapatkan Quality Assurance, maka sample 2 (dua) buah tabung dari setiap batch yang berjumlah 200 (dua ratus) tabung harus lulus dan mendapat sertifikat Result of Prototype Testing dari lembaga penjamin mutu (seperti PT Surveyor di Indonesia).

Adanya sertifikat tersebut membuktikan bahwa tabung telah diuji dengan cara mengisi tabung sampai tekanan 200 bar (maksimal), kemudian dikosongkan lagi sampai bertekanan 2 bar, dilakukan secara berulang-ulang sampai 40.000 (empat puluh ribu) kali. Pengujian ini (yang disebut cycling test) dilakukan untuk mengetes apakah tabung cukup elastis untuk digunakan sebagai tabung BBG sehingga aman untuk digunakan. Setelah itu tabung akan diisi tekanan hingga tabung meledak untuk melihat pada tekanan berapa tabung tersebut akan meledak (disebut burst test). Sehingga dengan demikian sudah sepatutnya diduga tabung yang dijual Gas Biru adalah produk tabung yang tidak lulus Quality Control dan tidak memiliki Sertifikat Quality Assurance sebagaimana disyaratkan oleh Standart Internasional.

Selain itu pada tabung juga tidak terdapat tanggal mulai dan tanggal berakhirnya masa pakai tabung. Dengan demikian menurut Steve Tabung BBG miliknya yang meledak dan juga tabung-tabung BBG lain yang dijual di Indonesia oleh PT Pertamina dan PT Gas Biru adalah tabung yang tidak layak pakai dan seharusnya tidak boleh digunakan sebagai Tabung BBG karena mudak meledak sehingga dapat membahayakan keselamatan konsumennya.

Sudah Banyak Korban
Menurut Steve Pertamina secara jelas telah menutup-nutupi ledakan tabung NZS 5454 merk Bogap dan Faber yang terjadi sebelumnya. Diantaranya adalah ledakan tabung BBGTaksi Kosti di SPBBG Jalan Sumenep yang membunuh 3 (tiga) orang dan Ledakan tabung BBG Taksi Blue bird di Jalan TOL Sedyatmo yang menghancurkan Taksi dan membunuh semua penumpang di dalamnya. Selain peristiwa ledakan tabung BBG yang menimpa Steve Sugita, diketahui hingga kini sedikitnya telah terjadi 17 ledakan Tabung BBG di wilayah Jabotabek. Belum termasuk ledakan yang terjadi di Surabaya-Semarang-Cirebon-Palembang-Medan.

Hasil perjuangan Steve Sugita adalah diterbitkannya SK 1193/HK402/DRJD/2004 tgl 11-8-2004 yang mencabut pengesahan peredaran Tabung BBG. Steve menceritakan pada awalnya pejabat yang berwenang meminta waktu untuk berpikir dan menyuruh Steve pulang. Namun steve mengatakan ”Bagaimana kalau sambil bapak berpikir, mobil pribadi bapak saya pasang instalasi BBG secara gratis.” Langsung pada hari itu juga SK tersebut dikeluarkan, tutur steve sambil tersenyum. Menindaklanjuti hal tersebut Dirjen Migas telah ingatkan Pertamina agar tidak pakai tabung Faber sesuai SK tersebut namun ternyata SPBBG Pertamina masih jual CNG kepada kendaraan yang menggunakan tabung merk Faber.

Pertamina berdalih telah keluarkan surat larangan, namun enggan berikan salinan, itupun tidak akan diberikan jika bukan komisi 7 yang minta untuk kesekian kalinya kepada Pertamina tutur Steve. Surat larangan yang dimaksud pertamina adalah surat Nomor 257/E20600/2005-S3 yang didalamnya memberitahukan kepada seluruh pengusaha/pengelola SPBBG baik milik PT Pertamina maupun milik swasta untuk tidak mengisi BBG pada kendaraan bermotor yang memakai Conversion Kit merk Renzo Landi dan tabung BBG merk Faber.

Surat Larangan tersebut tidak di implementasikan terbukti Pertamina terus jual BBG kepada taksi Kosti pemakai tabung Faber yang meledak ½ jam setelah mengisi gas di SPBBG Pertamina yang pada akhirnya menghancurkan kendaraan tersebut pada tgl 11 Desember 2005 didepan Mabes Polri. Steve menegaskan bahwa Direksi Pertamina sebagai atasan dealer telah lalai, karena tidak umumkan larangan di Media Cetak, bahwa tabung BBG Faber tidak layak pakai, sehingga sama saja Pertamina membiarkan konsumen celaka.

Busway dan Bajaj BBG
Walaupun peredaran tabung BBG merk Faber sudah dilarang namun menurut Steve tabung produk gagal tersebut masih terus dijual dan digunakan hingga saat ini. Bahkan menurut Steve ribuan taksi, ratusan bus “busway” dan 2000 unit kendaraan “Bajaj baru” saat ini memakai tabung gagal tersebut. Jika apa-apa yang didalilkan steve tersebut benar adanya maka Busway dan Taksi berbahan bakar gas yang saat ini berkeliaran di jalanan bisa jadi merupakan bom waktu yang siap meledak dan mencelakakan penumpangnya. Kita tunggu saja hasilnya dalam persidangan.

Polisi Menyuruh Masuk Jalur Busway: Bolehkah?

Oleh:
Arko Kanadianto, S.H.

Pada saat jalanan sedang macet, khususnya pada jam pulang kerja. Polisi sering memerintahkan kendaraan pribadi untuk masuk ke jalur busway. Padahal telah diketahui secara umum bahwa jalur busway semestinya tidak boleh digunakan oleh kendaraan pribadi. Apakah polisi berwenang untuk melakukan hal tersebut?

Pengaturan lalu lintas jalan adalah salah satu tugas pokok kepolisian sebagaimana dicantumkan dalam pasal 14 butir b UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian yang menyatakan bahwa Polisi bertugas untuk “menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan.”

Tanggung jawab mengatur lalu lintas ini dapat pula kita lihat dalam UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas. Dalam keadaan macet yang parah, polisi harus memiliki inisiatif untuk setidaknya mengurangi kemacetan tersebut, salah satunya dengan mengizinkan mobil pribadi masuk jalur busway. Ketentuan ini dapat kita lihat lebih jelas pada PP No. 43 Tahun 1993 tentang Prasarana Dan Lalu Lintas Jalan yang berbunyi:

Pasal 34:
(1) Dalam keadaan tertentu petugas Polisi Negara Republik Indonesia dapat melakukan tindakan:
a. memberhentikan arus lalu lintas dan/atau pemakai jalan tertentu;
b. memerintahkan pemakai jalan untuk jalan terus;
c. mempercepat arus lalu lintas;
d. memperlambat arus lalu lintas;
e. mengubah arah arus lalu lintas.


(2) Pemakai jalan wajib mematuhi perintah yang diberikan oleh petugas Polisi Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(3) Perintah yang diberikan oleh petugas Polisi Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib didahulukan daripada perintah yang diberikan oleh alat pemberi isyarat lalu lintas, rambu-rambu dan/atau marka jalan.

(4)Ketentuan-ketentuan mengenai isyarat perintah yang diberikan oleh petugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri setelah mendengar pendapat Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Keadaan lalu lintas Jakarta yang semakin padat, ditambah dengan adanya jalur busway yang mengurangi ruas jalan bagi umum tentu saja berpotensi mengakibatkan kemacetan parah di wilayah ibukota. Di sinilah kesigapan aparat kepolisian dituntut untuk mengusahakan ketertiban dan kelancaran lalu lintas, salah satunya dengan mengizinkan kendaraan pribadi untuk masuk jalur busway pada saat-saat tertentu dimana kemacetan parah sedang terjadi.

Yang tidak boleh adalah apabila hal ini menjadi kebiasaan masyarakat, begitu macet lalu seenaknya masuk jalur busway, padahal tidak ada perintah dari polisi. Jadi masuklah jalur busway hanya apabila ada perintah dari Polisi.

Namun menurut saya harus ada pembatasan dari kewenangan tersebut. Dalam hal ini Polisi harus pula mendukung program penggunaan Busway sebagai alternatif transportasi. Jika jumlah kendaraan pribadi di Jakarta tidak ditekan, maka bisa jadi beberapa tahun lagi kita akan mulai merasakan macet ketika baru saja keluar dari garasi mobil rumah kita.

Perlu kiranya dicermati bahwa tujuan dari diadakannya Mass Transportation System di Jakarta adalah untuk mengurangi volume kendaraan pribadi di jalanan sehingga lalu lintas Jakarta tidak terlalu padat. Jadi jika tidak ingin macet di jalan, jangan menggunakan mobil Pribadi dan mulailah menggunakan busway. Semoga Bermanfaat.